Mobil Esemka yang Tiarap: Di Antara Ambisi, Pandemi, dan Politik Otomotif Lokal

Daftar Isi
Mobil Esemka yang Tiarap: Di Antara Ambisi, Pandemi, dan Politik Otomotif Lokal

SERBATAU - Tidak ada yang melupakan disaat Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik Esemka di Boyolali pada 6 September 2019. Mobil buatan dalam negeri ini seakan menandai babak baru dalam industri mobil Indonesia.

Tapi lima tahun berlalu, keberadaan Esemka justru seperti tiarap. Tak banyak yang tahu, apakah ia mati suri, atau tengah menyusun langkah untuk bangkit kembali.

Kini saat geliat kendaraan listrik (EV) mulai menguat dan minat pada produk lokal meningkat, banyak yang bertanya: kemana perginya Esemka?


Kenapa Esemka Tiarap?

Pandemi dan Evaluasi Internal

Kondisi pandemi COVID-19 menjadi titik kritis bagi PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK), produsen Esemka. Direktur perusahaan, Eddy Wirajaya, mengakui bahwa pandemi memaksa mereka menghentikan sementara produksi. Bukan karena gagal bersaing, tetapi karena momen tersebut dianggap tepat untuk “berhenti, mengevaluasi, dan menyiapkan teknologi baru.”

Menurut Eddy, keputusan itu diambil karena Esemka masih dalam fase awal, sehingga lebih mudah melakukan perbaikan dibanding pemain besar lain. Fokus mereka beralih ke penguatan fasilitas pabrik dan studi pengembangan mobil listrik.


Esemka Bukan Sekadar Mobil

Visi Edukasi dan Teaching Factory

Kita tak bisa bicara Esemka tanpa menyebut sosok Sukiyat, penggagas awal proyek ini. Visi awalnya bukan untuk menciptakan mobil nasional dengan produksi massal, namun alat pembelajaran untuk siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Tujuannya: mentransfer ilmu, bukan sekadar menjual mobil.

Program teaching factory yang dimulai sejak 2007 ini melibatkan SMK dari berbagai daerah di Jawa. Anak-anak didik terlibat langsung dalam perakitan dan pengujian. Dalam banyak aspek, Esemka adalah proyek sosial-teknologis, bukan komersial semata.


Status Hukum: Esemka Bukan "Mobnas"

Banyak yang masih keliru: mengira Esemka adalah proyek resmi negara. Padahal, Esemka tidak sempat menyandang status mobil nasional seperti halnya Timor di masa Orde Baru. Ia adalah merek swasta lokal, dimiliki sepenuhnya oleh PT SMK, tanpa dana pemerintah.

Namun memang, Esemka sempat menjadi simbol kebanggaan Jokowi yang dulu sempat mengendarai mobil ini saat menjabat Wali Kota Solo. Dukungan itu bersifat moral, bukan anggaran.


Bagaimana Produksi Massal Esemka Sebenarnya?

Pada awalnya, dua model niaga diluncurkan: Bima 1.2 dan Bima 1.3. Menurut laporan 2021, sekitar 300 unit berhasil diproduksi dan disalurkan ke berbagai instansi serta pelanggan swasta.

Namun pandemi membuat produksi kembali mandek. Hingga kini, Esemka lebih banyak berfokus pada layanan servis dan persiapan untuk produksi tahap selanjutnya. Sayangnya, minimnya jaringan diler dan bengkel membuat ekspansi pasar melambat.


Isu Rebadge: Fakta atau Sekadar Citra?

Salah satu stigma yang terus melekat pada Esemka ialah tudingan kalau ia cuma mobil China yang diganti emblem. Namun pihak Esemka telah membantah: beberapa komponen memang diimpor, tetapi proses perakitan dilakukan di pabrik Boyolali secara mandiri.

“Bukan rebadge, karena kami punya jalur produksi sendiri,” ujar Eddy. Meski begitu, publik tetap skeptis dan ini menjadi PR besar dalam membangun citra merek otomotif Indonesia.


Ke Mana Arah Strategi EV dan SUV?

Esemka tak tinggal diam. Di ajang IIMS 2023, mereka memperkenalkan Bima EV versi listrik dari model niaga mereka. Selain itu, SUV konsep juga sempat diperlihatkan. Namun pihak perusahaan menegaskan bahwa untuk saat ini, fokus tetap pada kendaraan komersial dan elektrifikasi.

Menariknya, Esemka tidak menutup kemungkinan bermitra dengan produsen luar negeri seperti dari China, Korea, atau bahkan Eropa, selama terjadi transfer teknologi yang adil.

 

Dimensi Politik: Mobil yang Selalu Diisukan

Fakta bahwa Esemka muncul di berbagai momentum politik, terutama saat pemilu, membuatnya sering diasosiasikan dengan pencitraan. Namun perusahaan menegaskan bahwa Esemka tidak terkait dengan partai politik manapun.

 

Tantangan Nyata ke Depan

1. Ekspansi Jaringan dan Layanan

Dengan hanya tiga titik layanan (Boyolali, Jakarta Selatan, Lampung), ekspansi nasional jelas mustahil dalam waktu dekat. Perlu investasi besar untuk membangun jaringan seperti diler besar lain.

2. Tingkat Komponen Lokal

Esemka mengklaim lokal konten hingga 60%, tetapi bagian mesin dan elektronik masih banyak bergantung impor. Proses menuju CKD dan IKD perlu roadmap jelas dan dukungan mitra strategis.

3. Citra Merek dan Edukasi Konsumen

Stigma rebadge, kualitas diragukan, serta kurangnya promosi membuat brand awareness Esemka lemah. Diperlukan pendekatan pemasaran edukatif dan terbuka, termasuk uji publik, pameran, dan kampanye “transparansi pabrik”.

4. Persaingan EV dan Inovasi Produk

Masuk ke pasar EV berarti bersaing dengan BYD, Wuling, hingga Hyundai. Tanpa keunggulan harga, jaringan, atau teknologi, Esemka bisa kalah sebelum bertarung. 

Esemka bukan sekadar proyek otomotif. Ia adalah simbol mimpi mandiri, kendaraan edukasi, dan kebanggaan lokal. Tapi mimpi itu kini berhadapan dengan realitas pasar: dari isu rebadge, tantangan teknologi, hingga skeptisisme publik.

Dengan strategi produk yang fokus, investasi pada jaringan dan kualitas, serta narasi komunikasi yang terbuka dan progresif, Esemka bisa mengubah nasibnya. Bukan sekadar mobil nasional, tapi jadi mobil Indonesia yang lahir dari niat baik serta kerja keras anak bangsa.

Paket Outbound Perusahaan di Batu Malang