Selat Hormuz di Ujung Tanduk: Menguji Daya Tahan Energi dan APBN Indonesia
SERBATAU
- Ketegangan di Timur Tengah kembali memanas dan dunia
pun menahan napas. Kali ini bukan sekadar konflik biasa, melainkan potensi
terganggunya jalur perdagangan energi paling krusial di dunia: Selat Hormuz.
Selat sempit yang memisahkan Iran dan Oman ini setiap harinya dilalui hampir
seperlima pasokan minyak mentah global.
Pada
22 Juni 2025, parlemen Iran menyetujui opsi untuk menutup selat tersebut
sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya eskalasi konflik bersenjata dengan
Israel—yang dalam dua pekan terakhir ikut menyeret kekuatan besar seperti
Amerika Serikat.
Dampaknya
terasa langsung di pasar global. Harga minyak jenis Brent mulai merangkak naik,
dan berbagai skenario terburuk mulai disiapkan oleh negara-negara pengimpor
minyak, termasuk Indonesia.
Bagi
negeri ini, krisis di Hormuz bukan sekadar peristiwa geopolitik jauh di sana,
melainkan ancaman nyata terhadap stabilitas energi nasional, nilai tukar
rupiah, serta kemampuan fiskal untuk menjaga harga BBM tetap terjangkau.
Mengantisipasi
kemungkinan terburuk, Pertamina telah mengalihkan jalur pelayaran tanker ke
rute yang lebih aman. Di sisi lain, pemerintah mulai menghitung ulang beban
subsidi dan menyusun strategi fiskal untuk menahan gejolak energi agar tidak
menyentuh langsung kantong masyarakat.
Satu
hal yang pasti: jika Selat Hormuz benar-benar ditutup, bukan hanya peta
geopolitik yang berubah, tetapi juga keseharian rakyat Indonesia yang ikut
terdampak.
Jalur
Kehidupan Energi Senilai Rp 9.700 Triliun
Selat
Hormuz—celah laut selebar 39 km yang memisahkan Iran dan Oman—menyalurkan ± 18
juta barel minyak mentah setiap hari (sekitar 20 % pasokan global). Bila kita
pakai rerata harga Brent USD 90/barel sepanjang 2025 dan kurs Rp 16 500 per USD,
maka arus komoditas yang melewati “lorong sempit” ini bernilai ± Rp 9 700
triliun per tahun (≈ USD 588 miliar). Selain minyak, hampir seperlima
perdagangan LNG dunia—terutama kargo Qatar—juga bergantung pada selat ini. Tak
heran Badan Energi Internasional menobatkan Hormuz sebagai maritime
chokepoint paling vital di planet ini.
Harga
Minyak & Rupiah di Persimpangan
Oxford
Economics memperkirakan dua skenario:
- De-eskalasi → Brent stabil USD 80-85/barel.
- Penutupan
total → Brent
melesat ke USD 120-130/barel—level tertinggi sejak 2022.
Hitung-Hitungan
Defisit & Inflasi
Indonesia
mengimpor ≈ 1 juta bph. Kenaikan USD 10/barel berarti ongkos impor tambahan ≈
USD 900 juta per kuartal dan tekanan ganda ke neraca dagang serta rupiah.
Kementerian ESDM menaksir setiap USD 1/barel lonjakan ICP menambah subsidi
& kompensasi energi Rp 2,65 triliun.
Jika Brent bertahan di atas USD 120/barel selama tiga bulan, anggaran subsidi
berisiko kembali menembus Rp 550 triliun—level 2022.
Persiapan
Pertamina: Rute Baru, Biaya Baru
Sekretaris
Perusahaan Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari menegaskan cadangan
operasional BBM nasional masih 22 hari. Namun demi keamanan, Pertamina
mengalihkan pelayaran ke koridor Oman – India—menambah ≈ 1 500 mil laut atau
tiga hari layar. Penambahan jarak otomatis menaikkan biaya sewa kapal dan
asuransi.
Efek
Domino ke Harga Pompa
VP
Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyatakan harga BBM
nonsubsidi akan dievaluasi akhir Juni mengikuti tren Brent. Artinya, lonjakan
global tinggal selangkah menuju dompet konsumen.
Jurus
Ganda Pemerintah: Diversifikasi & Biofuel
Plt.
ESDM Bahlil Lahadalia memanggil Pertamina untuk mempercepat campuran B30-B35 dan
menggali kontrak minyak dari Afrika Barat, AS, serta Meksiko untuk memangkas
ketergantungan Teluk. Sementara itu, Kementerian Keuangan meracik mekanisme windfall
pajak batu bara & sawit guna menutup potensi lubang subsidi.
Di arena diplomasi, Jakarta mendukung inisiatif AS-Tiongkok menahan Iran agar
tidak mengimplementasikan blokade—karena Asia memegang 80 % impor via Hormuz.
Apa
yang Bisa Dilakukan Konsumen?
- Optimalkan
transportasi publik—KRL,
MRT, TransJakarta—untuk memangkas konsumsi BBM.
- Pilih
kendaraan hemat energi: hybrid,
motor listrik, atau mobil < 1 200 cc.
- Kurangi idling
& rajin servis: tiap
liter dihemat = rupiah tetap di kantong.
- Gunakan
biofuel & BBM ramah lingkungan: dukung transisi dan kurangi impor solar.
Durasi Krisis Lebih Menakutkan daripada Harga
Stok
nasional memang aman hari ini, tapi lama-pendeknya blokade lah yang akan
menentukan lebar-tidaknya luka di APBN dan daya beli. Selama Selat Hormuz
berada di ujung tanduk, pemerintah wajib menyeimbangkan disiplin fiskal dengan
bantalan sosial. Bagi publik, efisiensi energi—dari cara berkendara hingga
switch ke listrik—adalah langkah kecil namun nyata sambil berharap pita sempit
bernama Hormuz tak benar-benar terputus.